Oleh: Ustadz Cahyadi Takariawan
Sudah lama saya mengenal beliau. Sejak saya masih kuliah. Kisaran tahun 1989 saya mulai mengenal beliau.
Murid. Ya, tentu saya hanya murid. Beliau guru yang amat berwibawa. Kehadirannya di forum pembinaan keislaman, sangat dinanti.
Seiring waktu, saya tetap murid. Namun saya sangat berbangga pernah menjadi murid beliau. Mu’inudinillah Basri, nama guru itu. Kami memanggilnya dengan ustadz Muin.
Mengapa bangga? Mari lihat garis keturunan beliau.
Ustadz Muin termasuk keturunan Kiai Imam Rozi, pendiri pesantren Singo Manjat, Tempursari, Klaten.
Kiai Imam Rozi adalah putra Kiai Maryani bin Kiai Ageng Kenongo. Saat mencapai usia 24 tahun, Imam Rozi bergabung dengan Pangeran Diponegoro menentang penjajah Belanda, bersama Kiai Mojo dan para pejuang lainnya.
Kiai Imam Rozi menikah dengan RA Sumirah, saudara sepersusuan Pangeran Diponegoro. Ia diangkat sebagai manggala yudha atau panglima perang dan sebagai penghubung antara Pangeran Diponegoro dan Paku Buwono VI Surakarta.
Masyaallah. Ustadz Muin masih memiliki kekerabatan ke atas dengan Pangeran Diponegoro. Juga masih keturunan Kiai Ageng Kenongo.
Perjumpaan terakhir saya dengan beliau pada bulan Oktober lalu. Sempat mengobrol lama dalam perjalanan darat dari Bandung menuju Solo.
Kecintaan beliau terhadap Islam, luar biasa tingginya. Tak heran jika beliau menjadi “singa” yang selalu tampil membela.
Hari ini beliau menghadap Allah Ta’ala. Kesedihan kami tiada terkira.
Ampuni semua dosa dan kesalahan beliau, ya Allah. Terimalah semua amal kebaikan beliau. Tempatkan beliau di surgaMu yang tertinggi.
(sumber: voa-islam)