— Oleh Choirul Amri —
Pasukan Hulagu Khan menyerbu Baghdad tanpa ampun. Menghancurkan semua yang ada. Istana, rumah dan bangunan semua mereka hancurkan. Baghdad porak-poranda oleh serangan bangsa penghancur peradaban, bangsa barbar itu. Dalam beberapa hari tumpukan mayat mengunung. Darah mengalir di mana-mana. Bau tajam mayat menyengat hingga mengotori udara Baghdad. Konon tercatat dua juta orang dibantai tentara Mongol.
Bahkan buku-buku peninggalan khazanah ilmu pengetahuan, warisan berbagai peradaban yang berusia ribuan tahun, mereka buang ke sungai Tigris dan Eufrat. Hingga buku-buku itu memenuhi sungai dan menjadikan airnya menghitam pekat karena tinta. Lalu sebagian besarnya lainnya dibakar di api unggun.
Negeri jantung peradaban dunia, jantung ilmu pengetahuan, budaya dan perdagangan yang telah berdiri hampir 600 tahun itu musnah, hancur lebur.
Al Musta’sim penguasa terakhir Baghdad kemudian menyerahkan diri namun akhirnya dibunuh dengan cara mengenaskan.
Sebelum dibunuh Musta’sim menyerahkan gudang harta milik kekhalifahan Abbasiyah yang telah dikumpulkan selama 500 tahun, dengan harapan ada pengampunan. Namun sia-sia.
Tumpukan batu permata, benda berharga dan emas mengunung memenuhi gudang harta.
“Mengapa anda tidak memakai emas-emas ini untuk biaya perang. Bukankah dengan emas ini anda bisa dengan mudah menyewa pasukan pilihan untuk melawanku?” Kata Hulagu Khan mencemooh, mengejek al Musta’sim.
*
Setelah menang telak di Baghdad, selanjutnya Mongol menatap tajam Mesir..
Kini mereka mengancam Mesir dan berjanji akan menjadikannya sebagai negeri selanjutnya yang akan mereka lumat dan hancur leburkan. Hulagu Khan mengirimkan 125 ribu pasukan perang. Sebuah jumlah yang luar biasa.
Dengan sombong Hulagu Khan mengirimkan surat kepada Saifudin al Qutuz, menggertak penguasa Mesir saat itu untuk tunduk.
“Di mana Anda bisa melarikan diri? Jalan apa yang akan kamu gunakan untuk melarikan diri dari kami? Kuda-kuda kami cepat, panah kami tajam, pedang kami seperti petir, hati kami sekeras gunung, tentara kami sebanyak pasir. Benteng tidak akan menahan kami, atau senjata menghentikan kami. Doa Anda kepada Tuhan tidak akan berguna bagi kami. Kami tidak tergerak oleh air mata atau tersentuh oleh ratapan. Hanya mereka yang memohon perlindungan kami yang akan aman.”
Begitu sebagian isi suratnya. Padahal Allah berfirman dalam kitabnya,
“Dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan berlagak sombong,…( QS. Al Israa’ : 37 )
Namun Mesir bukan Baghdad, dan Qutuz juga bukan Musta’sim penguasa Baghdad terakhir.
Saifudin Al Qutuz tidak gentar karena nyalinya seperti singa, mentalnya sekuat baja, tekadnya setangguh karang. Baginya tidak ada yang tidak mungkin dengan izin Allah.
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. [QS. Al-Baqarah Ayat 249]
Qutuz bergegas mengkoordinasikan seluruh kekuatannya untuk menghadapi tentara Mongol. Ia kirimkan pasukan terbaiknya dan akhirnya kedua pasukan bertemu di wilayah Ain Jalut Palestina.
Ain Jalut adalah sebuah tanah datar cukup terbuka namun diapit bukit kiri kanannya. Oleh karenanya, jumlah pasukan yang besar tidak terlalu berfungsi karena kondisi geografisnya. Pasukan hanya bisa berjalan mengular.
Dengan sebuah strategi yang jenius akhirnya Qutuz bisa mengalahkan pasukan Mongol dengan sangat telak. Strateginya adalah dengan memancing pasukan Monggol masuk ke dalam perangkap. Yaitu sejumlah pasukan kecil Qutuz yang berpura-pura kalah lalu berlari, memancing pasukan Mongol masuk perangkap. Setelah mereka masuk ke dalam jebakan, pasukan besar Qutuz yang bersembunyi di balik pepohonan dan lereng-lereng tiba-tiba muncul dan menghancurkannya.
Itulah kekalahan pertama Mongol dan menjadi lonceng kematian Mongol. Setelah itu Mongol menjadi terdesak di mana-mana. Padahal sebelumnya ada sebuah mitos bahwa pasukan mongol adalah pasukan yang tak terkalahkan dan tidak bisa dikalahkan. Mitos itu kemudian pupus sudah.
Kemenangan Qutuz sangat fenomenal dan dianggap telah membelokkan sejarah.
Mengapa Mesir berbeda dengan Baghdad dan Qutuz berbeda dengan Musta’sim? Tentu banyak faktor namun faktor krusialnya adalah karena Qutuz mempunyai tekad dan harapan. Sementara Baghdad sudah kehilangan harapan dan tentu otomatis pada akhirnya tidak mempunyai tekad perlawanan.
Sun Tzu berpesan:
“Bila pasukan sudah dalam keadaan terdesak dan musuh meminta agar kita menyerah, maka kalau kita punya tiga kekuatan yakni senjata, makanan dan harapan, yang harus diserahkan pertama kali adalah senjata. Bila hanya ada dua hal, yakni makanan dan harapan, maka yang harus diserahkan adalah makanan.”
Intinya, harapan haruslah dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Jangan pernah diserahkan kepada musuh.
Karena harapan adalah harta karun paling berharga. Karena harapan adalah api yang dapat memunculkan keberanian. Karena harapan adalah energi perlawanan.
Karena harapan adalah satu-satunya mata yang paling tajam, yang sanggup melihat adanya sinar, meski gelap bertumpuk-tumpuk meliputi.
Karena harapan adalah jiwa..
Wallahu’alam