Oleh Faridi Abdul Mukti Rasnari
Di musim korona ini, banyak bapak-bapak yang menjadi imam dadakan. Karena sebagian wilayah terutama yang masuk ke dalam zona merah, tidak ada yang mengadakan shalat tarawih berjamaah di masjid. Akhirnya mereka terpaksa shalat di rumah dan menjadi imam bagi istri dan anak-anaknya. Padahal, sebelumnya mereka tidak pernah menjadi imam shalat tarawih. Ketika mereka menjadi imam shalat, ada sebagian dari mereka yang bacaannya tidak sesuai urutan mushaf, bagaimana hukumnya?
Pertama, kita harus mengapresiasi bapak-bapak ini yang masih mau dan tetap semangat melakukan qiyam ramadhan bersama keluarganya, karena ada pahala yang besar di dalamnya, walaupun mungkin sebagian dari mereka ketika menjadi imam mengalami gerogi yang hebat atau keringat dingin yang bercucuran, ini wajar. Apalagi mungkin diantara mereka ada yang baru pertama kali menjadi imam tarawih seumur hidupnya. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam ramadhan dengan penuh keimanan dan berharap keridhaan Allah semata maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (muttafaq ‘alaih)
Kedua, jika kita mendapati kekeliruan pada sebagian dari mereka, maka luruskanlah, tanpa menyinyirinya, merendahkannya atau bahkan mencelanya. Karena jika kita merendahkannya, jangan-jangan ucapan yang merendahkan itu muncul dari kesombongan yang berdesak-desakkan dalam hati kita -na’udzu bilahi min dzalik-.
Ketiga, jika yang dimaksud dengan urut adalah urut ketika membaca ayat-ayatnya maka ini wajib, dan jika membacanya tidak urut misalnya seperti membaca dari ayat 3, kemudian ayat 2, kemudian ayat 1, maka hal semacam ini haram hukumnya.
Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari mengatakan:
حَرُمَ أَنْ يَقْرَأَ (بِعَكْسِ الْآيِ) لِأَنَّهُ يُذْهِبُ إعْجَازَهُ وَيُزِيلُ حِكْمَةَ التَّرْتِيبِ
“Haram membaca (Al-Quran) dengan (urutan) ayat-ayat yang terbalik karena hal tersebut menghilangkan sisi kemukjizatannya dan menghilangkan hikmah dibalik urutannya.” (Asna Al-Mathalib, 1/63)
Dalam Fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyah, fatwa no. 53012 disebutkan:
فإن الواجب في قراءة القرآن الكريم اتباع ترتيب المصحف الشريف في الآيات
“Yang wajib ketika membaca Al-Quran adalah mengikuti urutan ayat per ayat di dalam mushaf …” (www.islamweb.net)
Keempat, jika yang dimaksud dengan urut adalah urut suratnya misalnya membaca surat Al-Fil pada rakaat pertama, dan surat Quraisy pada rakaat kedua maka hal ini sunnah hukumnya, bukan wajib. Jadi jika terbalik, hukumnya boleh, cuma ada sebagian ulama yang menganggapnya makruh, dan ada sebagian lagi yang menganggapnya khilaf al-aula (menyelisihi sesuatu yang lebih utama).
عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ، فَقُلْتُ: يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ، ثُمَّ مَضَى، فَقُلْتُ: يُصَلِّي بِهَا فِي رَكْعَةٍ، فَمَضَى، فَقُلْتُ: يَرْكَعُ بِهَا، ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ، فَقَرَأَهَا، ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ، فَقَرَأَهَا
“Dari Hudzaifah, ia berkata: aku shalat bersama Nabi ﷺ pada suatu malam, lalu beliau mulai membaca surat Al-Baqarah, aku berkata (dalam hati): beliau akan ruku’ pada ayat yang keseratus, namun (seratus ayat) pun berlalu, lalu aku berkata (dalam hati): beliau akan shalat dengan surat tersebut dalam satu rakaat, namun (surat Al-Baqarah) pun berlalu, kemudian aku berkata (dalam hati): beliau akan ruku’, ternyata kemudian beliau membaca surat An-Nisa hingga beliau selesai membacanya, lalu beliau membaca surat Ali Imran hingga beliau selesai membacanya …” (Shahih Muslim, hadits no. 772)
Syekh Ibnu ‘Allan ketika mengomentari hadits di atas mengatakan:
قلت قال بعض المتأخرين: أو إنه فعله لبيان الجواز
“Aku katakan: sebagian ulama muta’akhirin mengatakan: atau sesungguhnya beliau ﷺ melakukannya untuk menjelaskan bahwa hal tersebut boleh.” (Dalil Al-Falihin, 2/320)
Syekh Ibnu ‘Allan juga mengutip perkataan Imam Al-Baqillani:
ولا خلاف أنه يجوز للمصلي أن يقرأ في الركعة الثانية بسورة قبل التي قرأها في الأولى، إنما يكره ذلك في ركعة ولمن يتلو في غير صلاة، وقد أباحه بعضهم وتأوّل نهي السلف عن قراءة القرآن منكوساً على من يقرأ من آخر السورة إلى أولها
“Tidak ada perbedaan pendapat bahwasanya boleh bagi orang yang shalat untuk membaca pada rakaat kedua dengan surat yang berada pada posisi sebelum surat yang ia baca pada rakaat pertama, sesungguhnya yang dimakruhkan itu adalah jika hal tersebut dilakukan dalam satu rakaat dan bagi orang yang membacanya diluar shalat, namun sebagian ulama membolehkannya dan menafsirkan larangan ulama salaf tentang membaca Al-Quran secara terbalik (tidak urut) adalah bagi orang yang membaca (ayat) dari akhir surat sampai awal surat tersebut …” (Dalil Al-Falihin, 2/320)
makruh
وَكُرِهَ) الْعَكْسُ (فِي السُّوَرِ) لِفَوَاتِ التَّرْتِيبِ إلَّا فِي تَعْلِيمٍ فَلَا يُكْرَهُ)
“Dan dimakruhkan membaca surat-surat (Al-Quran) secara terbalik (tidak urut) karena hal tersebut telah melewatkan keutamaan urutan surat, kecuali dalam taklim (pembelajaran) maka itu tidak makruh.” (Asna Al-Mathalib, 1/63)
Khilaf al-aula
قوله: وأن يقرأ الخ) أي ويسن أن يقرأ. (قوله: على ترتيب المصحف) أي بأن يقرأ الفلق ثم قل أعوذ برب الناس، فلو عكس كان خلاف الأولى.
“(perkataan pengarang kitab fathul mu’in: dan membaca dst.) maksudnya adalah dan disunnahkan membaca. (perkataannya: sesuai urutan mushaf) maksudnya seperti membaca Al-Falaq kemudian An-Nas, kalau terbalik (An-Nas dulu kemudian Al-Falaq) maka hal tersebut khilaf al-aula.” (I’anah Ath-Thalibin, 1/176)
Jadi, membaca surat Al-Quran sesuai urutannya di mushaf itu yang lebih utama dan lebih baik, akan tetapi jika tidak urut baik karena lupa, tidak hafal urutannya, atau tidak tahu, maka hal itu tidak mengapa, karena Nabi ﷺ pun pernah melakukannya. Wallahu a’lam
(Judul Asli “Apakah Membaca Al-Quran Sesuai Urutan Mushaf Wajib?” telah diedit oleh redaksi.red)