Oleh Sapto Waluyo (Direktur Center for Indonesian Reform)
Perhelatan politik di tengah wabah Corona (COVID-19), dilakukan secara daring dan penuh keprihatinan, seperti Rabu (22/4). Presiden PKS, Mohammad Sohibul Iman, melaungkan orasi kebangsaan dan kemanusiaan, dalam rangka milad Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke-22 tahun.
Sementara Ketua Majelis Syura PKS, Habib Salim Segaf al-Jufri, menyampaikan pesan-pean moral dan spiritual.
Semuanya dipancarkan melalui televisi streaming dan berbagai kanal media sosial.
Sebelumnya, Senin (20/4), segenap anggota PKS di Indonesia dan mancanegara, melakukan kajian menyambut bulan suci Ramadhan 1441 Hijriah.
Pengajian daring itu, diikuti langsung oleh sedikitnya 63.000 akun Facebook, 96.000 viewers YouTube, dan 7.000 followers Instagram.
PKS, telah memulai era baru dalam aktivisme politik bernuansa kemanusiaan, dan sepenuhnya berjaringan daring.
Hikmah di Balik Musibah
Salah satu hikmah di balik musibah COVID-19 adalah memaksa seluruh penduduk dunia dengan keragaman status ekonomi dan penguasaan teknologinya, termasuk rakyat Indonesia yang sebelumnya tertinggal jauh dalam masyarakat informasi, untuk berinteraksi dan bekerja secara daring.
Jika elite Indonesia, selama ini berwacana gencar tentang Revolusi Industri 4.0 dan fenomena Internet of Things (IOT), maka kondisi darurat kesehatan saat ini membuka peluang untuk implementasi kebijakan teknologi informasi.
Dalam bidang kesehatan, pendidikan, relasi sosial, ekonomi rumah tangga (mikro), pengawasan keamanan, dan segala aspek yang membuat masyarakat survive di bawah tekanan wabah.
Maka itu, terlalu naif kebijakan jaminan sosial bagi warga terdampak COVID-19 yang terkena PHK (pengangguran) melalui Kartu Pra Kerja, bila hanya berisi kursus keterampilan berbayar.
Persoalan utama ketenagakerjaan di era digital adalah modal kerja (termasuk alat komunikasi), jenis produk atau jasa yang bisa terserap pasar, dan jalur distribusi yang bisa menghubungkan produsen serta konsumen secara terbuka.
Tak boleh ada lagi monopoli di era digital, apalagi penindasan ekonomi oleh kekuatan pemodal, karena teknologi harus menjadi sarana pemerataan kesempatan.
Penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tidak hanya mengubah cara kerja organisasi dan interaksi antar partai politik dengan konstituen, melainkan juga model demokrasi dan profil kepengurusan yang akan mengemban amanat di masa depan.
Bila kondisi darurat ini berlangsung hingga beberapa bulan, maka PKS, mungkin akan melaksanakan Pemilihan Raya untuk Anggota Majelis Syura periode 2020-2025 dan Musyawarah Nasional untuk menentukan kebijakan serta kepengurusan lima tahun yang akan datang, secara telekonperensi.
Pemira dan Munas PKS adalah inti demokrasi internal serta forum pengambil putusan tertinggi dalam partai.
Lahir dan Bertahan karena Dukungan
Hal itu menunjukkan PKS, lahir dan bertahan hidup karena dukungan aspirasi seluruh anggota. PKS terbukti bukan warisan keluarga pun dinasti atau bentukan oligarki.
Sejak Munas 2015, PKS telah melakukan suksesi penting ketika Ketua Majelis Syura KH Hilmi Aminuddin, digantikan oleh Habib Salim Segaf al-Jufri.
Ustadz Hilmi adalah tokoh pergerakan yang mengalami tekanan berat di masa Orde Baru, sedangkan Habib Salim, tokoh intelektual yang merupakan cucu dari pendiri organisasi besar al-Khairaat (Sayid Idrus bin Salim al-Jufri).
Kedua tokoh itu memperlihatkan dua karakter berbeda dan saling melengkapi. Karakter Ustadz Hilmi adalah motivator dan perancang strategi untuk menggerakkan perubahan di segenap aspek organisasi.
Sementara Habib Salim dikenal sebagai seorang pembimbing moral-spiritual yang akrab dengan berbagai kelompok masyarakat, termasuk akar rumput.
Apabla ditelusuri lebih jauh, profil kepemimpinan eksekutif (Presiden PKS) sejak era Partai Keadilan (1998) hingga sekarang, lebih berdimensi nasionalis, telah mewakili karakter masyarakat Indonesia. Mulai dari:
• Nur Mahmudi Ismail (PK 1998-1999, asal Jawa Timur),
• Hidayat Nur Wahid (PK 1999-2003, asal Jawa Tengah),
• Muzammil Yusuf (masa transisi PKS 2002-2003, asal Lampung),
• Hidayat Nur Wahid (PKS 2003-2004),
• Tifatul Sembiring (PKS 2004-2009, asal Sumatera Barat),
• Lutfi Hassan Ishaq (PKS 2009-2013, asal Nusa Tenggara Barat),
• Anis Matta (2013-2015, asal Sulawesi Selatan), dan
• Mohamad Sohibul Iman (2015-2020, asal Jawa Barat).
Latar belakang sosial-budaya dan pendidikan pimpinan, akan mempengaruhi kultur organisasi, di samping aturan yang dilembagakan.
PKS lebih mencerminkan wajah organisasi modern yang Indonesiawi, dibanding partai-partai lain yang terlihat kuat pengaruh Jawa-sentris, semisal:
PDIP (di bawah kepemimpinan Megawati),
Gerindra (Prabowo Subianto), atau
Demokrat (Susilo Bambang Yudhoyono).
Pandemi COVID-19 merupakan bencana nasional sekaligus momentum untuk menggalang solidaritas kemanusiaan.
Itu tema yang diperjuangkan PK sejak awal reformasi 1998, gerakan sosial (piety project) untuk menghadapi pragmatisme politik yang sudah mendarah-daging.
Sebenarnya fenomena gerakan sosial telah berlangsung lama dalam sejarah Indonesia, dengan inisiasi Jamiat Kheir yang berdiri pada awal abad 20, kemudian dilanjutkan organisasi dakwah, semisal:
Muhammadiyah (1912), Persatuan Islam (1923), Nahdlatul Ulama (1926), dan lain-lain.
Dalam manifestasi kontemporer, proyek kesalehan tampil pada relasi gerakan Islam dengan dunia pendidikan di kalangan kelas menengah.
Karen Bryner (2013) melakukan riset etnografik sepanjang 15 bulan pada sekolah Islam di Yogyakarta, dan menemukan bahwa sekolah bisa menjadi sarana efektif untuk membentuk orientasi sosial-keagamaan dan iklim politik di masyarakat dan ranah negara.
Orasi Sohibul Iman yang kritis, mirip dengan pidato Susilo Bambang Yudhoyono yang tajam, tapi jelas berbeda dengan arahan Prabowo Subianto.
PKS sepenuhnya independen ketika mengkritik kebijakan pemerintah, dan berorientasi pada advokasi kepentingan publik.
Dalam pandangan PKS, kemampuan pemerintah menanggulangi krisis akibat pandemi COVID-19, akan menentukan, ‘Apakah Indonesia akan keluar sebagai bangsa pemenang, pecundang, atau bangsa medioker yang hanya bisa jalan di tempat dan tidak mampu membuat perubahan dan kemajuan?’.
Sohibul Iman yang pernah menjabat Wakil Ketua DPR RI itu, melihat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020, berpotensi untuk menggiring Indonesia pada suasana otoriterianisme baru.
Kiprah PKS di Era Pandemi
PKS tidak hanya fasih melontarkan kritik. Namun, telah memobilisasi seluruh sumber daya, bersama komponen masyarakat untuk #BersatuLawanCorona.
Anggota legislatif PKS tidak hanya sukarela dipotong gajinya beberapa bulan untuk dana solidaritas bencana, melainkan juga terjun langsung menyalurkan bantuan (masker dan sanitizer untuk warga, serta alat perlindungan diri (APD) untuk tenaga kesehatan).
Bahkan ada yang bertugas untuk merawat jenazah korban positif atau PDP COVID-19.
Seperti Andi Hadi Ibrahim, anggota Fraksi PKS di DPRD Kota Makassar, yang diminta bantuan oleh RSUD setempat, sebagai koordinator penyelenggaraan jenazah sesuai standar COVID-19.
“Saya dan tim menjalankan amanah ini sebagai bagian dari tanggung jawab kepada konstituen dan kemanusiaan. Kami tidak hanya merawat jenazah yang meninggal di rumah sakit, tapi juga menangani pasien COVID-19 yang meninggal di rumah, dan keluarganya kebingungan atau kesulitan,” tuturnya.
“Tugas kita selama ini mengelola aspirasi masyarakat, termasuk menjaga kesejahteraannya hingga akhir hayat,” sambung Andi, yang tercatat sebagai pengurus Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Tim serupa telah dibentuk DPD PKS di Kota Solo dan Depok, berkolaborasi dengan Satgas COVID-19 pemerintah setempat.
Anggota PKS dari kalangan tenaga kesehatan (dokter, perawat, analis, dan lain-lain), bekerja secara profesional di Puskesmas dan Rumah Sakit, menjadi benteng terakhir pertahanan masyarakat menghadapi wabah.
Lebih banyak lagi kader dan simpatisan PKS yang menjadi Relawan di lembaga-lembaga kemanusiaan, bekerja dan bertaruh nyawa melayani warga.
PKS telah berpengalaman mengembangkan infrastruktur lewat:
• Gerakan Nasional Tanggap Bencana (Genta) sejak Tsunami Aceh (2004),
• Gempa Yogyakarta (2006),
• Gempa Sumatera Barat (2009),
• Gunung Merapi dan longsor Wasior Papua (2010),
• Kebakaran hutan di Riau dan Kalimantan Barat/Tengah (2015-2017),
• Gempa Palu (2018), dan
• Gempa Sumbawa (2019).
Sebagaimana diungkapkan Dahlan Iskan, sangat banyak inistiatif masyarakat untuk membantu penanggulangan wabah COVID-19, sesuai dengan kompetensinya.
Semisal Ahmad Alghozi Ramadhan yang dijuluki milenial nakal, karena sukses membangun aplikasi FghtCovid19.id, untuk melacak (tracking) warga terinfeksi COVID-19, yang akhirnya digunakan oleh pemerintah provinsi Bangka Belitung.
Ada lagi ide Hafidz Ary Nurhadi, alumni Teknik Elektro ITB, dan juga Ketua Asrama Mahasiswa Masjid Salman, yang mengusulkan pool test COVID-19 untuk kelompok besar warga secara kolektif. Namun, belum sempat di-implementasikan.
Sedangkan yang belum disorot luas adalah praktek langsung Arief Budi Witarto, ahli bioteknologi alumni Tokyo University of Agriculture and Technlogy, sekaligus Direktur Sumbawa Science and Techno Park.
Ia merancang alat uji swab COVID-19 secara mandiri, dan bilik tes swab portabel. Inisiatif itu didukung penuh Gubernur NTB, Zulkieflimansyah.
Sehingga tes warga dengan gejala COVID-19 lebih cepat dan efisien, bahkan bisa dilakukan hingga ke tingkat desa-kelurahan.
Sebagai kader PKS, Gubernur Zulkieflimansyah, sangat antusias dengan inovasi teknologi demi menunjang kebijakan publik.
Platform Kebijakan Pembangunan PKS (2017), khusus dalam sektor Pembangunan Kesehatan Paripurna, menyatakan salah satu arahan kebijakan yang bersifat promotif-preventif adalah:
“Mengawasi dan mengendalikan potensi penyebaran virus, bakteri, parasit, serta vektor yang membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.”
Jelas, PKS tidak hanya berbicara tentang penerapan standar pola hidup bersih dan sehat (PHBS) di level individu, keluarga, dan masyarakat, melainkan juga:
“Mendorong terwujudnya kemandirian, dan menjamin ketersediaan obat-obatan serta peralatan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau, dengan mengembangkan riset dan industri farmasi dalam negeri, serta pengawasan dan pengendalian impor obat dan bahan baku obat.”
Bahkan, platform PKS berbicara lebih jauh lagi upaya menggalang kerja sama internasional dengan berbagai negara, lembaga kesehatan dunia, dan NGO lintas negara, untuk menghadapi permasalahan kesehatan global, di antaranya penyakit menular, degeneratif, HIV/AIDS, narkotika, dan chemical-biological warfare.
Salah seorang kader PKS, Anton Apriyantono, telah berpengalaman sebagai Menteri Pertanian RI (2004-2009) menghadapi bencana flu burung yang sempat diwarnai dengan nuansa ‘perang biologi’.
Entah partai-partai lain, apakah memiliki platform detail tentang kebijakan kesehatan yang juga mencakup pembangunan Sistem Kesehatan Nasional, sebagai salah satu pilar utama Pembangunan Nasional dan penyiapan SDM Kesehatan, melalui lembaga pendidikan yang profesional, berintegritas, dan berbudaya kerja unggul.
Jika PKS, saat ini bersuara lantang soal kelemahan kebijakan penanggulangan COVID-19, semata-mata karena PKS, ingin berkontribusi optimal untuk melindungi seluruh warga negara dari bahaya virus Corona, meski tidak berada dalam pemerintahan.
PKS tidak sedang mempolitisasi isu COVID-19 untuk kepentingan jangka pendek, tetapi mendorong agar kapasitas pemerintah lebih di-prioritaskan untuk penyelamatan warga, daripada penyelamatan dampak ekonomi.
Sebab, ekonomi yang anjlok dapat dipulihkan, sedangkan warga yang meninggal, tidak dapat dihidupkan kembali.
Sikap tegas dan kritis PKS sepanjang 2014-2019, telah diakui masyarakat, sehingga pada pemilihan umum tahun 2019, PKS mendapat tambahan suara signifikan (11,5 juta pemilih atau 8,2 persen suara nasional), meningkat 1,4 persen total suara nasional, dibanding Pemilu 2014 (8,5 juta pemilih).
Jumlah kursi DPR RI yang diraih PKS, juga meningkat dari 40 menjadi 50 kursi. Apabila kita cermati capaian politik PK/PKS sejak Pemilu 1999 (Lihat Tabel), maka lonjakan suara spektakuler diraih pada Pemilu 2004: dari 1,4 juta suara (1,2 persen) menjadi 8,3 juta atau 7,3 persen).
Tetapi dari aspek jumlah kursi DPR RI yang paling banyak dicapai PKS pada Pemilu 2009, yakni 57 kursi, untuk kursi DPR Provinsi, capaian PK/PKS selama dua dekade meningkat dari 26 kursi (1999), menjadi 199 kursi (2019).
Demikian pula untuk kursi DPRD Kota/Kabupaten meningkat 158 kursi (1999), menjadi 1.219 kursi (2019).
PKS telah menjadi kekuatan nasional yang mengakar dan dipercaya masyarakat dari Sabang hingga Merauke.
Sebagai catatan pada periode 2014-2019, anggota PKS pernah memenangkan dan memimpin sebagai Ketua DPRD Kabupaten Lany Jaya, Papua.
Kader PKS juga pernah menjadi Wakil Wali Kota Jayapura periode (2010-2015).
Imaji sebagian pengamat yang menyebut PKS sebagai partai Islam-konservatif yang eksklusif dan mengancam eksistensi NKRI telah gugur.
Meskipun diperlukan upaya lebih serius untuk menampilkan wajah dan kinerja PKS, yang membumi di segenap wilayah Indonesia.
Ada lagi pengamat yang nyinyir, menyebut PKS bersikap kritis, karena tidak kebagian kue kekuasaan.
Pernyataan itu terkesan fakta apa adanya, padahal justru memperlihatkan sikap konsisten PKS, yang bila telah memilih sikap politik tertentu dalam pemilihan presiden dan dinyatakan kalah dalam Pemilu, maka berada di luar pemerintah merupakan konsekuensi wajar.
Dari situ bisa dibangun demokrasi yang sehat dan sportif. Konsekuensi yang tak perlu disesali PKS atau di-salah-persepsikan oleh pihak lain.
Dari hasil Pemilu 2004 dan 2019, justru terlihat bahwa dukungan publik kepada PKS semakin luas dan melonjak, ketika berada di luar pemerintahan, dan benar-benar menyuarakan aspirasi rakyat.
Kritis terhadap jalannya pemerintahan, tidak mengurangi komitmen PKS untuk mempertahankan NKRI dan menegakkan keadilan serta kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Capaian Politik PK dan PKS
Uniknya, sejak awal berdiri PK, justru berkoalisi dalam pemerintahan merupakan pilihan rasional.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001), kader PK (Nur Mahmudi Ismail) diangkat sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI.
Masa jabatan yang singkat menunjukkan kinerja Menteri asal PK menggentarkan para koruptor, karena Nur Mahmudi, berhasil mengusut penyimpangan dana reboisasi yang melibatkan konglomerat pendukung regim Soeharto.
Namun, ketika ditawari Megawati Soekarnoputeri, untuk bergabung dalam Kabinet Gotong Royong (2001-2004), PK (kemudian menjadi PKS), memilih untuk mendukung dari luar kabinet.
Itu pilihan sadar, hasil rapat Majelis Syura, bukan sikap emosional, dan dibenarkan oleh UUD NRI 1945, karena pemerintahan presidensial harus ada yang mengawasi, agar tidak menjadi otoriteran.
Kita sudah berpengalaman pada masa Soekarno (Orde Lama) serta Soeharto (Orde Baru), dan tidak ingin mengulang kesalahan politik serupa.
Pada masa pemerintahan SBY dua periode (2004-2014), PKS bergabung dalam pemerintahan dengan portofolio beragam:
• Menteri Pertanian,
• Menteri Pemuda dan Olahraga,
• Menteri Perumahan Rakyat,
• Menteri Negara Riset dan Teknologi,
• Menteri Komunikasi dan Informatika, dan
• Menteri Sosial.
Publik bisa mengkritisi kinerja pejabat eksekutif dari kalangan PKS, tapi secara umum memiliki keunggulan tersendiri.
Dalam bidang pertanian, Menteri asal PKS, telah memulihkan pencapaian swasembada pangan dan menekan importasi bahan pangan, karena itu dimusuhi oleh banyak importir pemburu rente.
Dalam bidang kesejahteraan sosial, Menteri dari PKS menetapkan kebijakan terpadu untuk penanggulangan kemiskinan dengan basis data yang telah terverifikasi. Program itu kemudian menjadi andalan pemerintahan Joko Widodo.
Di samping itu, kader PKS juga ada yang dipercaya publik untuk menjadi Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, atau para wakilnya.
Gubernur Jawa Barat selama dua periode (Ahmad Heryawan, 2008-2018) dan Gubernur Sumatera Barat selama dua periode (Irwan Prayitno, 2010-2020) menjadi bukti, betapa tokoh-tokoh muda daerah bisa berpretasi di panggung nasional.
Capaian serupa saat ini sedang dijalani Zulkieflimansyah sebagai Gubernur NTB (2018-2023).
Sebenarnya, ada tokoh senior PKS, Abdul Gani Kasuba, yang menjadi Gubernur Maluku Utara (2014-2019).
Namun, pada periode kedua (2019-2024), AGK bergabung dengan PDIP. Ujian konsistensi sikap politik tidak luput juga menimpa tokoh PKS.
Resep merawat komitmen dan membangun kredibilitas publik diungkapkan kader PKS, yang menjadi Wakil Wali Kota Salatiga selama dua periode (2011-2021), Muhammad Haris.
“Masa depan PKS terletak pada komitmen pimpinan dan pengurus partai serta kader, untuk selalu hadir dalam membangun umat, bangsa, dan negara,” tuturnya.
“Dalam sejarah panjang PKS, salah satu kunci utama kekuatannya ada pada pembinaan dan kedisiplinan kader partai. Semua kader bergerak dari lini grassroot hingga level elite tertinggi partai. PKS harus hadir memberikan solusi dan mewujudkan solidaritas nasional, guna melayani masyarakat,” sambung Haris.
Salah satu prestasi Pemerintah Kota Salatiga adalah menekan angka kemiskinan (4,7 persen), dan menjadi kota paling toleran se-Indonesia, selama tiga tahun berturut-turut.
Tokoh PKS, sekali lagi menjadi salah satu unsur perekat nasionalisme Indonesia.
Namun, yang harus disadari dan diakui, anggota PKS adalah manusia biasa, sehingga wajar bila khilaf atau terpeleset.
Kewajaran itu membuat tokoh PKS, tidak canggung untuk bergelut dalam kehidupan warga akar rumput.
Kesederhanaan tokoh PKS, bisa dilihat dari sosok Miswan, anggota DPRD Kabupaten Pangandaran.
Miswan bekerja sebagai nelayan dengan latar pendidikan tamat SMA. Ia dipercaya menjadi wakil rakyat, benar-benar karena dukungan akar rumput dan struktur PKS, tidak bergantung money politic.
Saat ini, dalam kondisi wabah, nyaris seluruh gajinya habis untuk melayani konstituen di wilayah selatan Jawa Barat.
Lalu, bagaimana ia menafkahi anak-istrinya? Pada hari-hari tertentu, dia harus pergi melaut untuk keperluan keluarga di rumah.
“Kami baru saja berkunjung ke Kalipucang (perbatasan wilayah Jabar-Jateng) untuk mengetahui kondisi masyarakat di sana. Saya sendiri yang menyopiri,” kata istrinya yang dihubungi melalui WhatsApp.
Miswan mendorong Bupati Pangandaran, agar mengerahkan segala daya untuk membantu warga terdampak COVID-19 yang memprihatinkan, karena dia sendiri merasakan akibatnya langsung.
Wajah masa depan PKS, juga terlihat dengan bergabungnya banyak figur milenial dalam gerakan politik bermartabat.
Salah satunya Ismail Bahtiar (27 tahun) yang terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan (2019-2024).
“Saya terjun ke politik benar-benar tanpa modal besar. Saya bersama beberapa kawan, merintis start-up dan berpengalaman kerja, wirausaha, sejak mahasiswa,” ujarnya.
“Modal sosial dan keterampilan itulah yang saya manfaatkan, untuk menjaring konstituen melalui media virtual. Ternyata pemilih muda dan milenial sangat potensial di Sulsel, sehingga menjadi tanggung jawab kami untuk mengembangkan potensinya bagi kemajuan daerah,” lanjut Ismail.
Pengalaman serupa, dibuktikan Nur Agis Aulia (28 tahun). CEO Jawara Farm yang terpilih sebagai anggota Fraksi PKS DPRD Kota Serang.
Agis merupakan alumni Universitas Gadjah Mada (UGM), yang mudik ke kampung halaman, untuk menjadi Agropreneur Muda dengan membangun komunitas Pak Tani Digital.
Prestasi Agis, diakui banyak pihak hingga diundang khusus sebagai tamu dalam acara unjuk wicara Kick Andy Heroes.
Refleksi Dua Dekade
Perjalanan 22 tahun bukan waktu yang pendek, tetapi bukan masa yang cukup pula untuk menguji konsistensi partai politik.
Partai yang berusia lebih tua dari PKS, saat ini antara lain:
• PDIP,
• Golkar, dan
• PPP.
• Partai lain, termasuk PAN, PKB, Gerindra, Demokrat, atau NasDem, seangkatan atau lebih muda dari PKS.
Amat menarik untuk membandingkan kinerja partai dari dimensi stabilitas kelembagaan, dinamika kepemimpinan, dan dukungan serta relasi publik-konstituen.
Ioana Emy Matesan, Associate Profesor dari Departemen Ilmu Pemerintahan, Universitas Wesleyan, Amerika Serikat, pernah melakukan riset tentang PKS, sebagai partai politik dan gerakan dakwah.
Riset Matesan sebelumnya, terkait proses normalisasi gerakan Islam di Mesir dan Indonesia, sesuai dengan pergeseran politik nasional dan global.
Saat berbicara tentang diferensiasi PKS dengan partai lain, Matesan memaparkan:
“Saya pikir PKS sama saja dengan partai lain dalam lingkungan politik Indonesia. Ternyata ia punya nilai sendiri, tetapi juga bersikap strategik dalam meraih target politik,” tuturnya.
“Basis kader dan konstituen PKS, berkomitmen kuat pada nilai dan visi keagamaannya. Namun, seperti partai lain, kepemimpinan politiknya bersikap pragmatik (principled pragmatism),” sambung Matesan.
Sebuah istilah menarik ditawarkan olehnya, pragmatisme berdasar prinsip moral, untuk menggambarkan dinamika gerakan Islam yang terjun ke dunia politik.
Hal ini bisa menjadi titik balik yang penting, agar partai Islam mampu memperluas basis dukungan.
Lebih jauh Matesan menjelaskan, “Secara aktual saya melihat ada dua model yang perlu dicermati: niche parties (partai khas/terbatas) dan partai biasa (mainstream parties) seperti Kristen Demokrat di Eropa,” jelasnya.
“Saya bisa katakan, bahwa PKS, sejauh ini cukup sukses sebagai partai khas, mengajak sebagian besar konstituen sepanjang pemilihan umum kepada pemilih yang lebih religius konservatif, yang juga membentuk basis kadernya,” lanjut Matesan.
“Partai khas memelihara dukungan dengan cara tetap konsisten kepada isu spesifik yang di-wakilinya, terutama jika isu tersebut nyata dan penting bagi segmen masyarakat tertentu, dan jika partai lain tidak menyuarakan isu tersebut,” sambungnya.
Repotnya, di Indonesia, partai nasionalis atau sekuler, juga mengadopsi retorika keagamaan pada waktu tertentu (terutama pada tingkat lokal), yang memberi tekanan pada partai khas berbasis agama.
Maka alternatif lain bagi partai Islam adalah mencoba mentransformasi diri menuju partai pada umumnya, dengan mengajak pemilih umum.
Maka itu, PKS harus melakukan ajakan atau pendekatan kepada pemilih kebanyakan, dan sekaligus membedakan dirinya dari partai lain pada umumnya yang juga mendekati pemilih umum.
Matesan tak pasti, apakah itu bisa dilakukan, dan tetap menjaga gerakan kultural yang sejalan sebagai dukungan utama, tulang punggung partai.
Momentum refleksi Milad ke-22 PKS di tengah pandemi COVID-19, membuka wacana untuk mendiskusikan ulang spektrum gerakan sosial dan gerakan politik di Indonesia.
Selama ini, ada kesan gerakan dakwah dan sosial terpisah dari gerakan politik, serta berada pada posisi yang berseberangan.
Akibatnya, konsolidasi umat Islam mengalami tantangan internal dan kolaborasi dengan kekuatan sosial-politik (nasionalis) juga terkendala.
Wacana kesinambungan dakwah juga relevan, karena saat ini berkembang gagasan ‘Masyumi Reborn’ dari sebagian tokoh yang kecewa dengan realitas politik Islam.
PKS harus siap membangun dialog dengan semua kelompok.
Patut direnungkan nasihat dari salah seorang tokoh Pendiri PK (1998) yang baru saja wafat (5/4/2020), dalam usia 58 tahun, Dr KH Ahzami Samiun Jazuli.
Kiai Ahzami adalah Pimpinan Pondok Pesantren Darul Hikmah, Bekasi yang terlibat aktif dalam gerakan politik, pernah menjabat Wakil Ketua Dewan Syariah Pusat PKS (tatkala Ketua DSP dijabat Habib Salim Segaf al-Jufri).
Salah satu pesan penting kiai-doktor ahli tafsir al-Qur’an itu adalah:
Kita berjemaah (berjuang dalam suatu organisasi) ini harus memiliki napas panjang, yaa ibadallah, karena umur jemaah atau umur dakwah (perjuangan) lebih panjang daripada umur kita.
Kita berjuang tidak dibatasi umur kita, dan perjuangan harus madal hayat (sepanjang masa). Oleh karena itu, agar napas kita panjang dalam berjemaah, mari kita berlomba-lomba semuanya untuk memproduksi husnul khatimah.
Maka kita harus berlomba-lomba untuk memperbaiki kematian (akhir hidup) kita, melalui jemaah yang telah mendidik kita menjadi orang-orang yang punya militansi dalam perjuangan.
Hal itu tidak akan terjadi, kalau kita tidak benar-benar bertaqwa kepada Allah. Begitu banyak isitlah taqwa dalam Al-Qur’an, tetapi ketika berbicara tentang taqwa dalam kaitannya dengan husnul khatimah, maka ditegaskan:
‘Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa (haqqa tuqatihi) dan janganlah kalian mati, kecuali dalam keadaan Islam (berserah diri kepada Allah)…’.”
Perjalanan dakwah sangat panjang, sementara perjuangan politik hanya salah satu aspek dari dakwah yang berdimensi luas.
Jangan sampai kita terjebak pada target politik jangka pendek, apalagi sekadar pertarungan memperebutkan suara rakyat dalam Pemilu dan mengejar kursi kekuasaan.
Padahal, banyak orang ketika sudah menang Pemilu dan menduduki kursi kuasa, juga kebingungan, bagaimana menjalankan dan mengarahkan kekuasaan itu?
Akhirnya, mereka hanya terjebak ilusi dan fatamorgana kuasa, mempertahankan kekuasaan untuk semakin berkuasa, seolah-olah akan hidup selamanya atau kekuasaan dapat diwariskan kepada anak-cucunya.
Politik dakwah perlu diterjemahkan menjadi politik gagasan, bukan sekadar pencitraan berongkos mahal dan menutupi kebohongan berkelanjutan dengan berbagai cara.
Sehingga negara yang kita bangun dan cita-citakan benar-benar menjadi ‘Negara Utama’, bukan ‘Negara orang-orang Bodoh’ atau ‘Negara Sesat’ (al-Farabi, 950).
Politik gagasan bukan berisi caci-maki atau keluh-kesah, tapi menawarkan alternatif pandangan dan jalan keluar.
Pandangan khas dari Kiai Ahzami yang menjadi guru bagi para politisi PKS, bisa dipahami.
Ayahnya adalah seorang kiai NU yang sangat dihormati dan diakui keilmuannya, KH Samiun Jazuli, aktif dalam Bahtsul Masail NU bersama:
• Mbah Sahal (KH MA Sahal Mahfudh) dari Kajen,
• KH Sholeh Al-Hafidh,
• KH Duri Nawawi,
• KH Ahmad Fayumi Munji,
• KH Muzammil Thohir,
• KH Ma’mun Muzayyin,
• KH Abdullah Rifa’i,
• KH Abdul Hadi Kurdi,
• KH Zuhdi Abdul Manan, dan sejumlah kyai lainnya.
Forum Bahtsul Masail, sangat dihormati, terutama kehadiran dua kiai besar di wilayah Pati, yakni KH Abdullah Zain Salam (Mbah Dullah Salam) serta KH A Suyuthi Abdul Qadir dari Guyangan.
Mbah Sami’un (ayah Ahzami) mengirimkan anaknya untuk belajar di Guyangan, dari madrasah ibtidaiyah hingga menyelesaikan madrasah ‘aliyah.
Selepas dari Pesantren Guyangan, Ahzami melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah. Pendidikan S1 hingga S3 diselesaikan di Universitas Muhammad ibnu Saud di Riyadh, Arab Saudi jurusan Ulumul Quran.
Tesis S2-nya berjudul “Al Hijrah fil Quran” dan Disertasi S3 bertajuk “Al Hayah fil Quran”.
Selain mengajar di beberapa perguruan tinggi, Doktor Ahzami juga menjadi pengasuh siaran Tafsir Kehidupan di stasiun televisi (TVRi dan TV One).
PKS telah kehilangan sejumlah tokoh senior. Namun, generasi baru lahir untuk melanjutkan estafet perjuangan.
Sebagaimana langkah pertama sudah digerakkan, maka perjalanan seribul mil tidak akan berhenti hanya karena ada jurang terjal atau bukit emas di tengah jalan.
Dimuat di ngelmu.co